BABUEK BAYIAK DI AGAK AGAK, BABUEK BURUAK SAKALI JANGAN
Sebahagian masyarakat Minang, dan khususnya, masyarakat adat Sulit Air, tentu, sudah sering atau
setidaknya pernah mendengar pepatah (pituah) adat yg satu ini, “Babuek Bayiak Agak Agak, Babuek Buruak Sakali Jangan”.
Rupanya, pituah tersebut tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh karena, semua kosa katanya dapat dikenali atau dimengerti dengan baik oleh semua orang. Hanya saja, ada sedikit perbedaan pengucapan (dialek) antara bahasa Minang dengan bahasa Indonesia.
Kata “buruak” misalnya, menjadi “buruk” dalam pelafalan bahasa Indonesia, demikian dengan kata
“babuek” menjadi “berbuat” dalam pengucapan bahasa Indonesia, sehingga terjemahan lengkap
dari pituah adat tersebut menjadi, “Berbuat baik Agak-Agak, Berbuat Buruk Sekali Jangan”.
Agaknya, secara harfiah, tidaklah sulit untuk memahmi pepatah, ini, karena pada intinya, pepatah ini
memerintahkan dan menganjurkan agar seluruh masyarakat adat untuk selalu berbuat baik atau
melakukan segala jenis kebaikan kepada siapa pun, dan pada saat bersamaan, adat pun menuntut
agar semua orang mesti menjauhi dan meninggalkan segala bentuk keburukan.
Namun, sejatinya, juga tidaklah mudah untuk mengungkap makna yang sesungguhnya, atau makna
sebenarnya sebagaimana yang diinginkan oleh pepatah tersebut. Apalagi, ketika kata “Agak-Agak”
mengikuti kalimat “berbuat baik” dan juga begitu dengan kalimat, “Sekali Jangan” menyertai kalimat
.”Babuek buruak”.
Persoalannya sekarang, oleh karena, pepatah tersebut merupakan pituah adat, lalu berbuat baik dan berbuat buruk yang bagaimanakah yang dimaksudkan adat, dan bagaimana pula kaitan dan keserasian pepatah tersebut dengan ajaran Islam?
Setelah itu barulah masuk ke dalam pembahasan, berbuat baik dan berbuat buruk bagaimanakah sesungguhnya yang diinginkan oleh pepatah berbuat baik yang diagak agak dan berbuat buruk sekali jangan?
ADAB DAN AKHLAK
Adanya pepatah, “Berbuat baik agak-agak, berbuat buruk sekali jangan”, mengisyaratkan, bahwa
jauh sebelum kehadiran Islam di Tanah Minang, adat sudah memandang dan mengajarkan kepada seluruh masyarakat adat tentang nilai-nilai kebaikan yang bersifat umum dan universal.
Sepertinya, inilah kemudian yang disebut dengan istilah “adab”, merupakan suatu kebiasaan yang
terpuji yang dihasilkan dari proses pembelajaran, yang di dalam adat Minang dibangun diatas falsafah, “Alam Takambang Jadikan Guru”
Pepatah, “koba baik bahimbauan, koba buruak bahambauan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan), ini, misalnya, meru pakan satu contoh adab yang telah dibiasakan di dalam adat.
Pepatah ini dapat dipahami, seorang yang beradat dilarang datang menghadiri perhelatan adat,seperti barolek perkawinan, kenduri dan kegiatan sejenis lainnya, jika ia tidak diundang untuk hadir pada hajat tersebut.
Soalnya, dia sendiri tidak tahu apa alasannya ia tidak diundang, apa karena lupa, ataukah karena ia memang sengaja tidak diundang oleh yang punya hajat.
Jika ia memaksakan dirinya untuk tetap hadir, karena beranggapan yang punya hajat lupa, tentu,
kehadirannya akan diterima dengan baik dan senang hati oleh shahibul hajat.
Walau begitu, masyarakat adat tetap memandang orang tersebut dengan sebelah mata, sebagai orang yang kurang beradat (bermartabat).
Adat menyebutnya dengan sekedar “Poi Mancaluak” (Sekedar dapat makan gratis) atau juga ada yang menyebutnya sebagai, “Siempun” istilah ini lebih kurang semakna dengan jelangkung, datangnya tak diundang, dan pulangnya pun tak diantar, masuk nya tak genap, dan keluarnya pun tak ganjil.
Sebaliknya, jika ia memang sengaja tidak diundang, sudah barang tentu ia akan menyesal, karena, ternyata yang punya hajat tidak menerima kehadirannya dengan senang hati, melainkan dengan muka masam atau dengan wajah yang ditekuk.