Pewartanasional.com

Ramadhan 1446 H

BERKELINDAN

 

Seperti disinyalir oleh Buya Hamka, keberadaan Islam dan adat di Tanah Minang telah bercampur, berjalin berkelindan, bagaikan bercampurnya air dengan minyak,ia tampak berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan.
[21/4 08.34] Risman: Secara umum dan universal, baik dalam konteks adat, apalagi dari sudut pandang Islam, kata “baik”
dipahami sebagai sebutan yang digunakan untuk menamakan bagi segala bentuk sikap dan perbua – tan yang terpuji, orang yang melakukannya dipandang mulia dan akan peroleh kedudukan yang tinggi di Lingkungan masyarakat nya.

Itulah sebabnya seseorang akan dipuji oleh keluarga dan lingkungannya, apabila ia selalu atau banyak berbuat baik, sebagaimana halnya, ia pun akan dipandang mulia dan menempati kedudukan yang tinggi di tengah kaumnya, apabila ia selalu dan konsisten (istiqamah) melakukan amal kebaikan.

Seorang penguasa akan dipuji dan dipandang mulia dengan kedudukan yang tinggi dihadapan
rakyatnya, jika ia mampu menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana; Orang kaya akan dimuliakan
masyarakatnya, jika ia selalu berbagi (dermawan) dengan mereka yang membutuhkan uluran
tangannya.

Seorang pemberani akan dijunjung, apabila ia selalu melindungi mereka yang lemah; Kaum ulama dan cerdik pandai akan dimuliakan kaumnya, jika mereka senantiasa tawaddhu (rendah hati) dan mau berbagi dengan ilmunya.

Itulah sebahagian contoh diantara sekian banyak amal kebaikan yang selalu aktual dalam kehidupan, ini. Keberadaan mereka, tidak saja, layak untuk ditauladani, melainkan, juga benar-benar dirasakan manfaatnya secara nyata oleh masyarakatnya.

Kepemimpinan seorang penguasa atau keberanian seorang jagoan memang menjadi tempat berlin dung bagi kaumnya (Bagak Katompek Balinduang); Kederma wanannya seorang milyarder
memang menjadi tempat berteng gang dan meminta (Kayo Katom pek Mamintak); dan keberadaan dari kaum ulama dan cerdik pandai memang menjadi tempat bertanya oleh masyarakatnya (Codiak
Katompek Batanyo).

Seperti diatas telah disinggung, baik adat maupun agama (Islam), keduanya sama sama mengajar kan tentang nilai nilai kebaikan dan memerintahkan kepada seluruh masyarakat adat (umat) untuk selalu berbuat baik secara kontinyu (terus menerus) dan konsisten (Istiqamah), sehingga tiada lagi waktu yang tersisa untuk bisa melakukan keburukan dan kejahatan.

Saking pentingnya kebaikan dan perlunya untuk selalu berbuat baik, al Qur’an sendiri sampai sampai menggunakan banyak terminologi untuk menyebut istilah “Berbuat Baik”, antara lain, ada istilah; “Khairat, Makruf, Birr, Ihsan (Hasan) dan Saleh”.

Semua kosa kata tersebut menjadi sinonim antara satu dengan lainnya yang berarti berbuat baik. Hanya saja, meski menjadi sino- nim, tetapi semua lafaz tersebut tidak mempunyai makna yang persis sama.

Masing masing memiliki penekanan makna (Stresing) yang berbeda beda. Lafaz, “al Khairat”, misalnya, seperti dikemukakan M. Quraisy Shihab, memiliki makna berbuat baik dalam pengertian yang lebih luas, umum dan universal.

Sikap dan tindakan apa pun yang dianggap baik dalam pandangan syara’, dan dilaksanakan hanya dengan mengharap ridha Allah semata, ia disebut dengan al.Khairat.

Memberikan bantuan berupa sedekah, penggalangan dana bagi
pembangunan mesjid, surau dan mushalla, penggalangan dana bagi pembangunan fasilitas umum,
penggalangan dana bagi pengadaan bibit buah buahan dan tanam tanaman.

JAUHI MAKSIAT

Selain itu, menjauhi maksiat, perzinahan, tidak narkoba dan mabuk mabukan, tidak korupsi, berlaku dan berbuat adil, dan masih sangat banyak contoh lainnya. Dan agaknya, lafaz al Khairat inilah yang lebih dekat maknanya dengan pengertian berbuat baik, seperti yang dimaksudkan oleh pepatah “Berbuat Baik Agak Agak, ini.

Berbeda halnya dengan Kata “Ihsan”. Istilah ini lazimnya dipahami sebagai suatu sikap/ tindakan kebaikan yang melebihi dari kebaikan yang diterima oleh seseorang atau yang dilakukan orang lain terhadap dirinya (al Qur’an, S. Al Qashas; 77), dan kebaikan itu dikerjakan semata mata karena Allah Ta’aala (Ikhlas).

Sebagai contoh, seseorang membesuk saudaranya yang sedang sakit, walau sebelumnya, ia tidak.dibesuk oleh saudaranya itu pada saat ia juga lagi sakit. Padahal, saudaranya itu mengetahui dirinya sedang sakit saat itu, dan masih banyak fenomena lainnya yang dapat dijadikan sebagai perumpamaan.

Pada hakikatnya, Ihsan itu dimaknai sebagai membalas kebaikan dengan kebaikan
yang lebih baik dan atau dengan kebaikan yang jauh lebih utama dari yang dilakukan orang lain
terhadap dirinya.

Tulisan ini, tentu, tidak berpretensi untuk membahas semua istilah yang digunakan al Qur’an
mengenai istilah berbuat baik secara menyeluruh (Komprehensif) dan mendalam, melainkan,
sekedar memberikan pemahaman, bahwa istilah “Berbuat Baik”seperti yang dimaksudkan pepatah,
“Berbuat Baik Agak Agak” lebih identik dan atau lebih dekat pengertiannya dengan terminologi
“al.Khairat” sebagai termaktub di dalam kitab suci al Qur’an.

Persoalannya sekarang, jika adat dan agama telah mengajarkan dan memerintahkan masyarakat
adat dan ummat untuk berbuat baik, lalu kenapa kebaikan yang dilakukan itu mesti dilakukan
dengan “Agak Agak”? Bukankah kebaikan yang utama itu sepatut nya dilakukan secara maksimal dan optimal?

Jika demikian halnya, lalu apa sejatinya yang dimaksudkan dengan pepatah berbuat baik
sepatutnya dilaksanakan secara agak agak, itu?

Sudah barang tentu, pepatah ini tidak dimaksud kan agar setiap orang yang berbuat baik melalukannya dengan tanggung tanggung atau setengah setengah, karena baik adat maupun Islam menghendaki semua orang agar berbuat baik secara total, maksimal dan optimal, tentu sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh masing masing orang.

Untuk memahami penggalan pertama pepatah, “Berbuat baik Agak Agak” ini, nampaknya mesti
dengan membedah apa yang dimaksudkan dengan istilah, “Agak Agak”? Secara harfiah, istilah ‘Agak Agak” berasal dari kata “Agak”. P

Penambahan akhiran “nya” pada kata tersebut menjadi “Agaknya” berarti, “Rupanya, Sepertinya, Nampaknya,”. Selanjutnya, pengulangan kata tersebut menjadi “Agak Agak” memberikan pengertian, “Memperkirakan, Menakar, Menaksir,
dan Hati Hati”.

Pemahaman etimologis diatas, sekurangnya memberikan dua pemahaman, Pertama; berbuat baik sepantasnyalah diikuti dengan adanya kemampuan menakar, mengukur, dan menaksir mengenai kebaikan yang dilakukan agar tetap berada pada porsi yang selayaknya.

Kebaikan yang dilakukan sepatutnyalah berguna, bahkan berdayaguna dan berhasilguna untuk memunculkan berbagai kebaikan lainnya.

Kebaikan yang dilakukan tidak boleh sampai menjerumuskan, sehingga melahirkan sikap dan perbuatan negatif dan destruktif (merusak), sebagaimana, kebaikan yang dikerjakan juga tidak dibenar kan sampai memunculkan kemubaziran dan.kesiasiaan, sehingga tergelincir pada tindakan hedonism (berfoya foya) yang melalaikan.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *