Pewartanasional.com

Ramadhan 1446 H

Umum

UU PERAMPASAN ASET LAWAN KEJAHATAN KEUANGAN DAN KORUPSI DI TANAH AIR.

UU PERAMPASAN ASET LAWSN KEJAHATAN KEUANGAN DAN KORUPSI DI TANAH AIR.


Oleh Bagus Sulistyanto, Mahasiswa S3 Doktor Ilmu Hukum UNISBA

Jakarta, Media – Mahasiswa S3 Doktor Ilmu Hukum Bagus Sulistyanto mengungkapkan Undang-Undang Perampasan Aset: Solusi Strategis Melawan Kejahatan Keuangan dan Korupsi di Tanah Air, katanya.

Mahasiswa S3 Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung itu, menguraikan, korupsi dan kejahatan keuangan terus menjadi hambatan signifikan bagi pembangunan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan di Indonesia ulasnya kepada Media Minggu (17/11).

Berdasarkan data Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di angka 34 dari skala 100, yang mencerminkan tingkat korupsi masih cukup tinggi.

Selain itu, menurut laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), potensi kerugian negara akibat kejahatan keuangan pada 2022 mencapai lebih dari Rp 400 triliun.

Untuk menjawab tantangan ini, kata Bagus, pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi langkah yang sangat strategis. Artikel ini akan menganalisis urgensi dan dampaknya menggunakan teori hukum, pendekatan komparatif internasional, serta data relevan tentang pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan.

Dari sudut pandang teori hukum, mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB) didasarkan pada konsep hukum administrasi publik yang memungkinkan negara bertindak atas nama kepentingan umum tanpa tergantung pada putusan pidana individu.

Ini sejalan dengan prinsip restorative justice, di mana fokus utama adalah memulihkan kerugian masyarakat daripada menghukum pelaku secara personal.

Dalam konteks hukum pidana, doktrin presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) sering menjadi hambatan untuk menyita aset yang diduga ilegal.

Namun, teori hukum progresif yang diusulkan oleh Satjipto Rahardjo menekankan bahwa hukum harus melayani keadilan substantif, bukan hanya prosedural. Dalam kasus kejahatan keuangan, aset hasil kejahatan harus dianggap sebagai entitas terpisah yang dapat diadili secara mandiri tanpa memerlukan putusan pidana terlebih dahulu.

Dampak

Data empiris menunjukkan bahwa kejahatan keuangan memiliki dampak destruktif terhadap stabilitas ekonomi, Pertama, kerugian Finansial: Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa lebih dari 70% kasus korupsi di Indonesia terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang merugikan negara hingga Rp 200 triliun pada periode 2018–2022.

Kedua, Aset di Luar Negeri: Berdasarkan laporan PPATK, sekitar Rp150 triliun aset hasil korupsi diduga disembunyikan di luar negeri, yang sulit dijangkau dengan mekanisme hukum konvensional.

Tanpa mekanisme khusus seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perampasan Aset, pemulihan kerugian negara menjadi hampir mustahil. Kalau ditelaah dalam Studi Komparatif Internasional, sejumlah negara telah menunjukkan keberhasilan implementasi UU Perampasan Aset:

Kesatu, Amerika Serikat: Melalui Civil Asset Forfeiture Reform Act (CAFRA), pemerintah AS telah menyita miliaran dolar aset ilegal, termasuk yang terkait dengan narkotika, korupsi, dan pencucian uang. Sistem ini memungkinkan pemerintah mengajukan gugatan terhadap aset tanpa harus mengadili pemiliknya.

Kedua, Singapura: Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes Act memberikan kewenangan kepada otoritas untuk menyita aset yang diduga hasil kejahatan. Hasilnya, Singapura mampu menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.

Ketiga, Italia: Pemerintah Italia menggunakan mekanisme serupa untuk melawan mafia dan berhasil menyita properti senilai lebih dari €12 miliar sejak 2010. Praktik ini menunjukkan bahwa perampasan aset berbasis praduga yang kuat (reasonable suspicion) dapat menjadi alat yang efektif dalam menangani kejahatan keuangan.

Berdasarkan konsep dan data, Undang Undang Perampasan Aset dapat memberikan beberapa keuntungan strategis:

Kesatu, Mempercepat Pemulihan Aset dan Kedua, Dengan menghilangkan ketergantungan pada putusan pidana, proses identifikasi, pembekuan, dan penyitaan aset dapat dilakukan lebih cepat. Ini penting mengingat rata-rata penyelesaian kasus korupsi di Indonesia membutuhkan waktu 4-6 tahun, jelas Bagus serius.

Ketiga, Efek Psikologis dan Pencegahan, Keempat Ketika pelaku mengetahui bahwa hasil kejahatannya akan disita tanpa pandang bulu, daya tarik korupsi sebagai “kejahatan yang menguntungkan” akan berkurang drastis.

Kelima, Memperkuat Kewibawaan Hukum, Keenam, UU ini akan menunjukkan komitmen serius negara dalam melindungi kekayaan publik dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Tentu saja, ada potensi tantangan dalam penerapan UU ini, termasuk:
Satu, Risiko Penyalahgunaan Kekuasaan, Kedua Penyitaan aset tanpa putusan pidana dapat menjadi alat politik jika tidak diawasi dengan ketat. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme checks and balances melalui lembaga pengadilan independen dan transparansi proses.

HAM

Ketiga, Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keempat, Setiap langkah penyitaan harus mempertimbangkan perlindungan terhadap hak milik warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945.

Untuk itu, mekanisme pembuktian terbalik harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Undang-Undang Perampasan Aset merupakan terobosan hukum yang dibutuhkan Indonesia untuk menghadapi kejahatan keuangan dan korupsi secara sistematis.

Dengan mengacu pada teori hukum progresif dan bukti empiris dari negara lain, regulasi ini dapat menjadi katalisator perubahan besar dalam tata kelola keuangan negara.
Agar implementasinya berhasil, pemerintah harus:

Kesatu, Membentuk mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Kedua, Mengintegrasikan sistem teknologi canggih seperti blockchain untuk melacak aset secara transparan, Ketiga Melakukan edukasi kepada aparat penegak hukum untuk memastikan pelaksanaan yang profesional dan akuntabel.

Dengan langkah ini, Undang-Undang Perampasan Aset dapat menjadi tonggak penting dalam mewujudkan Indonesia yang bersih, adil, dan makmur, demikian Bagus Sulistyanto mengungkapkan dalam tulisannya kepada media nasional. (R)

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *