Pewartanasional.com

Ramadhan 1446 H

KEBAIKAN DIATAS KEIKHLASAN

Saiyo, satidok negeriku.

Oleh Rafdizon Mawardi

Kebaikan yang ditegakkan diatas keikhlasan, dapat dipastikan akan melahirkan berbagai kebaikan
lainnya.

Jadi, jika ada orang mengaku berbuat baik, tapi memunculkan berbagai fenomena yang
tidak baik, sebagai dikemukakan diatas, berarti patut dipertanyakan mengenai keikhlasannya.

Ikhlas bukanlah sesuatu ungkapan yang selalu diumbar pada setiap saat melakukan kebaikan, karena
menurut Imam al Ghazali, orang yang selalu mencitrakan dirinya dengan kata ikhlas, justeru patut
dicurigai mengenai keikhlasannya.

Ikhlas bukanlah sebuah pengakuan untuk terlalu sering
diucapkan, melainkan, sebuah kondisi batin yang mesti selalu dijaga dan dipertahankan.

Selanjutnya, berbuat baik memang mesti diagak agak, terlebih, belum tentu, niat dan perbuatan baik
yang akan dilakukan juga ditanggapi dan diterima dengan baik oleh pihak lain.

Boleh jadi, ada pihak
lain yang tidak terima, atau malah menjadi tersinggung dengan kebaikan yang diperbuat. Sekali lagi, rumusnya, kebaikan yang terbaik hendaklah melahirkan berbagai kebaikan kebaikan lainnya.

Jadi, keinginan untuk berbuat baik sepatutnya juga disertai dengan kearifan, yaitu suatu kemampuan
kontemplatif yang mengakumulasi pengetahuan, kesabaran, kejujuran dan keterbukaan, sehingga ia
mampu melihat secara batin dan kasat mata mengenai berbagai hal yang akan terjadi, jika suatu kebai- kan akan dilakukan.

Atau dengan kata lain, suatu wisdom yang mampu melihat akan adanya ranting yang akan menusuk dan daun yang akan menimpa (rantiang nan kaman cucuak, daun nan kamaimpok), jika hendak memproyeksikan suatu kebaikan.

Ia harus mampu mewujudkan pepatah adat yang satu ini,
“mahawai sahabi raso, mangauang sahabi gawuang”

Hal ini sangat berguna untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi munculnya tanggapan yang negatif, mengurangi resisten- si, atau bahkan mengantisipasi berbagai kemungkinan fitnah yang bakal timbul dengan proyeksi kebaikan yang akan dilaksanakan.

DAPAT DITERIMA

Berbuat baik memang selayaknya diagak agak, agar kebaikan yang dilakukan dapat diterima dan
atau setidaknya dapat dipahami oleh semua pihak.

Memberikan nasehat kepada sekelompok remaja agar mereka tidak mabuk mabukan, tidak
diragukan lagi, tentu sebuah nasehat yang baik, tapi apa yang bakal terjadi kalau nasehat tersebut disampaikan kepada mereka yang sedang mabuk?

Jangankan mereka akan berhenti minum alkohol dan membubarkan diri, mendengar nasehat yang disampaikan saja, mereka pasti enggan atau bahkan malah balik memaki maki sang pemberi nasehat.

Contoh lainnya, seorang dermawan hendak memberikan pertolongan kepada seseorang yang
menurut nya sangat pantas untuk dibantu.

Pada saat ia memberikan bantuannya, sang dermawan
sangat kaget, karena orang yang dibantunya menolak bantuan yang ia berikan, dengan mengatakan,
“berikanlah kepada yang lain yang lebih membutuhkan, in syaa Allah, Dia (Allah) akan mencukupkan
rezki-Nya buat kami.”

Ternyata, orang yang dibantu itu lebih kaya dari dermawan yang membantu. Saking kayanya, ia tidak membutuhkan pertolongan, melainkan hanya dari Sang Yang Mahakaya (al Ghaniyy).

Sungguh dahsyat tentunya hikmah yang diberikan oleh orang tersebut, sebagaimana tak terbayangkan sebelumnya oleh sang dermawan.

Meski niat baik dermawan tersebut tidak ditanggapi negatif oleh orang yang hendak dibantu, sudah barang tentu, sang dermawan merasa malu dihadapan orang tersebut, karena kebaikan yang ditawarkannya ditolak dengan halus (baik) oleh orang tersebut.

Disinilah pentingnya makna berbuat baik agar mesti dan selalu diagak agak.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *