PENGACARA: TEGAKKAN UUD 1945, KHUSUS PASAL 33 DI TANAH AIR
Tasik Media – Pengacara kondang, Abd Rahman Suhu mengungkapkan, tegakkan UUD 1945, khusus pasal 33 ayat 3 untuk meredam konflik yang sering terjadi di bidang pertanahan yang berakhir di meja hijau.
” Konflik yang terjadi di bidang pertanahan yang berada di kewenangan agraria tampaknya menjadi sumber korupsi terbesar dan penjajahan modern terhadap rakyat,” kata Abd Rahman Suhu advokat dan pengacara di PN Jakarta Rabu (25/9).
Menurut Suhu, penyebab terjadi konflik pertanahan/agraria di tanah air, umumnya masih kental praktek korupsi, tidak jelas kepastian hukum, ketidak mampuan pemerintah mendata dan mendaftarkan bidang pertanahan, dikuasai oleh orang tertentu dan data yang simpang siur.
Mengutip laman Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2021), luas daratan negara Indonesia 1.916.906 kilometer persegi. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di belahan bumi, sekitar 17.508 pulau termasuk dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekitar 126 juta bidang tanah di tanah air / 31 Mei 2024, 113,3 juta tanah telah terdaftar, dan sisanya 12,7 juta belum terdaftar. Dari 513 kabupaten/kota di Indonesia, baru 33 kabupaten/kota yang telah dinyatakan lengkap per 31 Mei 2024 (sumber: ATR/BPN).
“Kabupaten dan kota diberikan status lengkap karena seluruh bidang tanah di wilayah tersebut telah dipetakan dan didata. Hal ini sangat diperlukan pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan, ” urai suhu melanjut.
” Dengan diterapkan cara tersebut akan dapat meminimalkan konflik agraria dan pemerintah daerah sebagai bagian untuk menata ruang bukan untuk memanfaatkan peluang bisnis oknum pemerintah daerah tersebut,” terang Agus lagi.
Ia menambahkan bagian yang dikuasai oleh pihak warga jangan membuat resah dan tumpang tindih ataupun faktanya memang begitu, ungkap bang suhu pengacara.
Di sisi lain terkait lahan sawit selalu bermasalah dengan pihak warganya sendiri bahkan banyak oknum yang selalu membela yang kaya sehingga gugatan masalah tanah dan sawit banyak dipersoalan dalam sidang pengadilan manapun, tegas Bang Suhu.
Konflik Agraria
Namun, ungka suhu masih terdapat di 480 kabupaten/kota yang belum memiliki data lengkap. Hal ini berpotensi menjadi pemicu konflik agraria di Indonesia.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tampaknya masih terdapat 2.939 konflik agraria yang terjadi di akhir tahun 2023 mencakup 6,3 juta hektar lahan. Hal ini berdampak terhadap 1.759.308 keluarga.
Selama periode 2015-2023, tercatat 3.503 korban dari konflik-konflik tersebut, sebagian besar berasal dari sengketa yang belum terselesaikan.
bahkan dapat diselesaikan di pengadilan negeri manapun.
Data KPA juga menunjukkan bahwa hingga saat ini, 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar dikuasai oleh pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektar dikuasai oleh pengusaha kayu.
Di sisi lain, sebanyak 17,24 juta petani gurem hanya menguasai lahan di bawah 0,1hektar hingga 0,5 hektar, dan sisanya merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan.
Penyebab terjadinya konflik agraria di Indonesia antara lain: Lembaga negara, tipikor selalu memantau kondisi pemerintah daerah dan kabupten di masing masing daerah yang memiliki lahan ratusan, hektar bahkan ribuan hektar.
Solusi untuk menyelesaikan masalah ini, lshsn dsn tsnah, tampaknya penegakan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 sangat penting, yang menyatakan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Beberapa langkah yang perlu dilaku kan yakni : PertamaMeningkatkan keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di bidang agraria dan tara ruang.
Kedua, membangun tatanan agraria yang adil, berdaulat, akuntabel, dan transparan. Ketiga, mengembangkan sistem digitalisasi atau big data agraria di Indonesia agar tidak terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan.
Keempat, membangun sarana dan prasarana untuk memberikan sesuatu kepada warganya, kata bapak Suhu.